Menjelang datangnya bulan Ramadan, biasanya topik yang menjadi bahan obrolan adalah perbedaan waktu awal bulan Ramadan. Sering kita jumpai organisasi masyarakat yang mengumumkan tanggal dimulainya bulan Ramadan, tetapi pada waktu yang berbeda. Kadang ada yang berbeda sehari, bahkan tiga hari.

Perbedaan itu pula yang membuat sidang isbat yang dilakukan pemerintah (dalam hal ini kementerian agama) terasa penting, karena dalam sidang tersehut pemerintah mengajak banyak organisasi masyarakat. Ternyata, metode penentuan awal Ramadan tidak hanya ada satu. Ulama pun mengalami perbedaan pendapat soal penentuan tersebut.

Mayoritas ulama’ dari empat madzhab yang berkembang di Indonesia menyatakan bahwa penentuan awal Ramadan hanya dapat dilaksanakan dengan metode rukyat (mengamati hilal). Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat Al-Barah ayat 185:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada)-Nya.

Rasulullah SAW bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.
(HR. Bukhari, hadits no. 1776)

Metode penentuan awal Ramadan yang kedua adalah perhitungan untuk menentukan posisi hilal atau biasa disebut hisab. Dasar yang digunakan adalah surat Yunus ayat 5:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).

Kedua metode tersebut memiliki dasar yang dapat diyakini, maka seharusnya tidak perlu menjadi perdebatan dalam penentuan awal Ramadan.

Share This

Share This

Share this post with your friends!